Cari Blog Ini

Laman

Rabu, 29 Agustus 2012

Lembah Plasma


Lembah Plasma terletak antara Gunung Lemongan dan Gunung Tarub. Gunung Tarub dan gunung Lamongan (Asal kata dari bahasa pandalungan “Klemongan atau Lemongan” yang berarti ”membingungkan”) sedangkan Tarub berasal dari kata “Terop” yang berarti menaungi karena puncaknya yang selalu tertutup awan, terletak di perbatasan dua kabupaten, yakni kabupaten Lumajang (Desa Papringan kecamatan Klakah) dan Kabupaten Probolinggo (Desa Gedangan kecamatan Tiris). Kedua gunung ini merupakan satu gugusan gunung berjenis strato yang masih aktif dan tergolong gunung api paling berbahaya dengan catatan letusan terakhir pada bulan Februari 1898 menyebabkan kerusakan besar di daerah Lumajang dan Probolinggo hingga menyisakan ketinggian sekitar 1651 mdpl untuk puncak gunung Lamongan dan 1671 untuk puncak gunung Tarub serta menghasilkan Lembah kecil di tengahnya (Lembah Plasma) dan 36 Maar (danau kawah) di sekelilingnya.

Tim dari Plasma yang dipimping oleh Iwan Slash salah satu alumni kami dari angkatan XIV membutuhkan waktu 2 hari 3 malam, perjalanan di mulai dari klakah, kami memulai perjalanan pada malam hari menuju camp pertama yaitu watu gede,  dipagi hari kami menyiapkan diri untuk melanjutkan perjalanan ke puncak G.lemongan yang penuh dengan perjuangan dan membutuhkan semangat sangat tinggi, hal itu dikarenakan trek yang berbahaya dan menanjak. Setelah melaksanakan perjalanan yang panjang kami melakukan perjalanan menuju camp yang kedua, hal itu pun sangat berbahaya karena kami harus melipiri bukit berbatu di puncak lemongan. Dan akhirnya sampailah di camp kedua dan kami mendirikan tenda disana semalaman. Hari keesoknya kami mempersiapkan diri untuk melanjutkan perjalanan ke lembah plasma dan harus turun kembali kesisi yang satunya yaitu lembah di celah antara lemongan dan tarub, disitu mulailah pembukaan trek karena masih jarang dijamah orang lain. Dan tidak luput kami memasang trek point pada setiap trek yang akan dilalui. Setelah beberapa jam melakukan perjalanan akhirnya kami sampai pada lembah agung plasma.

FAKTA LEMBAH PLASMA
Berdasarkan catatan Junghun , yakni seorang naturalis, doktor, botanikus, geolog dan pengarang berkebangsaan Jerman lalu berganti Belanda (Buch "Java seine Gestalt, Pflanzendecke und innere Bauart" Band 1. Arnoldische Buchhandlung, Leipzig 1852), Lembah "PLASMA" ini adalah kawah sebenarnya dari gunung Lamongan yang dihasilkan dari letusan gunung Lamongan Purba ketika masih merupakan kerucut raksasa. Karena itu, di lembah ini aktifitas vulkanik masih terasa sampai saat ini, ditandai dari tanah yang hangat dan terkadang berasap, jenis tanah berupa pasir kasar berwarna hitam keputih-putihan sebagai akibat dari proses pelapukan batuan vulkanik yang terbentuk saat terjadinya letusan gunung Lamongan purba terjadi, dan pohon-pohon yang jarang tumbuh hanya didominasi lumut yang sangat tebal yang tumbuh di tanah dan batu sebagai indikasi masih adanya gas sulfur(belerang) disana. Karena itu, di lembah PLASMA sebenarnya sangat rawan terbentuk gas beracun, yakni gas methan yang dihasilkan dari timbunan gas sulfur di dalam tanah yang sangat lama tersimpan. Dan ketika gas ini keluar dari tanah kemudian bercampur dengan : ir hujan atau embun, maka akan sangat berbahaya bagi manusia, seperti contohnya yang sering terjadi di kawah ratu -jawa barat.

Pertumbuhan dan Perkembangan


Pertumbuhan dan Perkembangan


Pertumbuhan adalah proses kenaikan massa dan volume yang
irreversibel (tidak kembali ke asal) karena
adanya tambahan substansi dan
perubahan bentuk yang terjadi selama
proses tersebut.

Perkembangan adalah proses menuju tercapainya kedewasaan atau
tingkat yang lebih sempurna. Perkembangan tidak dapat dinyatakan
secara kuantitatif. Perkembangan merupakan proses yang berjalan sejajar
dengan pertumbuhan.

Pertumbuhan pada tumbuhan terutama terjadi pada jaringan
meristem (ujung akar, ujung batang, dan ujung kuncup). Tumbuhan
monokotil tumbuh dengan cara penebalan karena tidak mempunyai
kambium, sedangkan tumbuhan dikotil pertumbuhan terjadi karena
adanya aktivitas kambium. Kambium memegang peranan penting untuk
pertumbuhan diameter batang. Kambium tumbuh ke dalam membentuk
xilem (kayu), ke arah luar membentuk floem.

Terdapat 3 daerah (zona) pertumbuhan dan perkembangan.
a. Daerah pembelahan (daerah meristematik)
Merupakan daerah yang paling ujung dan merupakan tempat
terbentuknya sel-sel baru. Sel-sel di daerah ini mempunyai inti sel yang
relatif besar, berdinding tipis, dan aktif membelah diri.
b. Daerah pemanjangan
Merupakan daerah hasil pembelahan sel-sel meristem. Sel-sel hasil
pembelahan tersebut akan bertambah besar ukurannya sehingga menjadi
bagian dari daerah perpanjangan. Ukuran selnya bertambah beberapa
puluh kali dibandingkan sel-sel meristematik.
c. Daerah diferensiasi
Merupakan daerah yang terletak di bawah daerah pemanjangan. Selsel
di daerah ini umumnya mempunyai dinding yang menebal dan
beberapa di antaranya mengalami diferensiasi menjadi epidermis, korteks,
dan empulur. Sel yang lain berdiferensiasi menjadi jaringan parenkim,
jaringan penunjang, dan jaringan pengangkut (xilem dan floem).


Huruf Jepang


ひらがな

あいうえおaiueo
かきくけこkakikukeko
さしすせそsasisuseso
たちつてとtatcitsuteto
なにぬねのnaninuneno
はひふへほhahihuheho
まみむめもmamimumemo
やゆよyayuyo
らりるれろrarirurero
wao
んn



カタカナkatakana

アイウエオaiueo
カキクケコkakikukeko
サシスセソsasisuseso
タチツテトtatcitsuteto
ナニヌネノnaninuneno
ハヒフヘホhahihuheho
マミムメモmamimumemo
ヤユヨyayuyo
ラリルレロrarirurero
ワwa
ンn

Senin, 27 Agustus 2012

SUFI


Sufisme
Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – berkata: Adapun sifat sifat kaum Sufi dan siapa sebenarnya mereka, adalah sebagaimana yang pernah dijawab oleh Abdul Wahid bin Zaid – sebagaimana yang pernah saya terima – dimana ia adalah salah seorang yang sangat dekat dengan Hasan al-Bashri – rahimahullah – ketika ditanya, “Siapakah kaum Sufi itu menurut Anda?” Ia menjawab, “Adalah mereka yang menggunakan akalnya tatkala ditimpa kesedihan dan selalu menetapinya dengan hati nurani, selalu berpegang teguh pada Tuannya (Allah) dari kejelekan nafsunya. Maka merekalah kaum Sufi.”
Dzun Nun al-Mishri – rahimahullah – ditanya tentang Sufi, kemudian ia menjawab, “Seorang Sufi ialah orang yang tidak dibikin lelah oleh tuntutan, dan tidak dibuat gelisah oleh sesuatu yang hilang darinya.” DzunNun juga pernah mengemukakan, “Orang-orang Sufi adalah kaum yang lebih mengedepankan Allah daripada segala sesuatu. Maka dengan demikian Allah akan mengutamakan mereka di atas segala-galanya.”         
Pernah ditanyakan pada sebagian orang Sufi, “Siapa yang pantas menjadi sahabatku?” Maka ia menjawab, “Bertemanlah dengan kaum Sufi, karena di mata mereka kejelekan yang ada pasti memiliki berbagai alasan untuk dimaafkan. Sedangkan sesuatu yang banyak dalam pandangan mereka tak ada artinya, sehingga tak membuat Anda merasa bangga (ujub).”
Al-Junaid bin Muhammad – rahimahullah – ditanya tentang kaum Sufi, “Siapa mereka?” Ia menjawab, “Mereka adalah kaum pilihan Allah dari makhluk-Nya yang Dia sembunyikan tatkala Dia menyukai dan Dia tampakkan tatkala Dia menyukai pula.”
Abu al-Husain Ahmad bin Muhammad an-Nuri – rahimahullah – ditanya tentang kaum Sufi, maka ia menjawab, “Kaum Sufi ialah orang yang mendengar sama’ (ekstase ketika dzikir) dan lebih memilih menggunakan sarana (sebab).”
Orang-orang Syam menyebut kaum Sufi dengan sebutan fuqara’ (orang orang fakir kepada Allah). Dimana mereka memberikan alasan, bahwa Allah swt. telah menyebut mereka dengan fuqara’ dalam firman Nya:
“(Juga) bagi orang-orang fakir yang berhijrah, dimana mereka diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-(Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang jujur (benar).” (Q.s. al Hasyr:8).
Dan firman Nya pula:
“(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) dijalan Allah.” (Q.s. al Baqarah: 273).
Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad Nahya al-Jalla’ – rahimahullah – ditanya tentang seorang Sufi. Maka ia menjawab, “Kami tidak tahu akan adanya persyaratan ilmu, akan tetapi kami hanya tahu, bahwa ia adalah seorang fakir yang bersih dari berbagai sarana (sebab). Ia selalu bersama Allah Azza wajalla dengan tanpa batas tempat. Sementara itu al-Haq, Allah tidak menghalanginya untuk mengetahui segala tempat. Itulah yang disebut seorang Sufi.”
Ada pendapat yang menyatakan, bahwa kata Sufi awalnya berasal dari kata Shafawi (orang yang bersih), namun karena dianggap berat dalam mengucapkan, maka diganti menjadi Shufi. Abu Hasan al Qannad rahimahullah ditanya tentang makna Sufi, maka ia menjawab, “Kata itu berasal dari kata Shafa’, yang artinya adalah selalu berbuat hanya untuk Allah Azza wa jalla dalam setiap, waktu dengan penuh setia.”
Sebagian yang lain berkata, “Sufi adalah seseorang apabila dihadapkan pada dua pilihan kondisi spiritual atau dua akhlak yang mulia, maka ia selalu memilih yang paling baik dan paling utama.” Ada pula yang lain ditanya tentang makna Sufi, maka ia menjawab, “Makna Sufi adalah apabila seorang hamba telah mampu merealisasikan penghambaan (ubudiyyah), dijernihkan oleh al-Haq sehingga bersih dari kotoran manusiawi, menempati kedudukan hakikat dan membandingkan hukum-hukum syariat. Jika ia bisa melakukan hal itu, maka dialah seorang Sufi. Karena ia telah dibersihkan.”
Syekh Abu Nashr – rahimahullah – berkata: jika Anda ditanya, “Siapa pada hakikatnya kaum Sufi itu?” Coba terangkan pada kami! Maka Syekh Abu Nashr as-Sarraj memberi jawaban, “Mereka adalah ulama yang tahu Allah dan hukum-hukum Nya, mengamalkan apa yang Allah ajarkan pada mereka, merealisasikan apa yang diperintah untuk mengamalkannya, menghayati apa yang telah mereka realisasikan dan hanyut (sirna) dengan apa yang mereka hayati. Sebab setiap, orang yang sanggup menghayati sesuatu ia akan hanyut (sirna) dengan apa yang ia hayati.”
Abu Hasan al Qannad – rahimahullah – berkata, “Tasawuf adalah nama yang diberikan pada lahiriah pakaian. Sedangkan mereka berbeda beda dalam berbagai makna dan kondisi spiritual.”
Abu Bakar Dulaf bin Jahdar asy-Syibli – rahimahullah – ditanya tentang mengapa para kaum Sufi disebut dengan nama demikian. Ia menjawab, “Karena masih ada bekas yang mengesan di jiwa mereka. Andaikan tidak ada bekas tersebut, tentu berbagai nama tidak akan bisa melekat dan bergantung pada mereka.”
Disebutkan juga bahwa kaum Sufi adalah sisa-sisa orang-orang terbaik Ahlush-Shuffah (para penghuni masjid yang hidup pada zaman Nabi saw., pent.).
Adapun orang yang mengatakan bahwa nama tersebut merupakan simbol lahiriah pakaian mereka. Hal ini telah disebutkan dalam riwayat tentang orang orang yang mengenakan pakaian shuf (wool), dimana para Nabi dan orang orang saleh memilih pakaian jenis ini. Sementara untuk membicarakan masalah ini akan cukup panjang. Banyak jawaban tentang tasawuf, dimana sekelompok orang telah memberikan jawaban yang berbeda beda. Di antaranya adalah Ibrahim bin al-Muwallad ar-Raqqi rahimahullah yang memberikan jawaban lebih dari seratus jawaban. Sedangkan yang kami sebutkan, kami rasa sudah cukup memadai.
Ali bin Abdurrahim al-Qannad – rahimahullah – memberi jawaban tentang tasawuf dan lenyapnya orang-orang Sufi dalam untaian syairnya:
Ketika Ahli Tasawuf telah berlalu, tasawuf menjadi keterasingan, jadi teriakan, ekstase dan riwayat. Ketika berbagai ilmu telah berlalu, maka tak ada lagi ilmu dan hati yang bersinar,Nafsumu telah mendustaimu, tak ada pijakan jalan nan indah
Hingga kau tampak pada manusia dengan ketajaman mata, mengalir rahasia yang ada di dalam dirimu terbuka Tampaklah aktivitas dan rahasia bergururan.
Di kalangan para guru (syekh) Sufi ada tiga jawaban tentang tasawuf.
Pertama, jawaban dengan syarat ilmu, yaitu membersihkan hati dari kotoran kotoran, berakhlak mulia dengan makhluk Allah dan mengikuti Rasulullah saw. dalam syariat.
Kedua, jawaban dengan lisanul-haqiqah (bahasa hakikat), yaitu tidak merasa memiliki (pamrih), keluar dari perbudakan sifat dan semata mencukupkan diri dengan Sang Pencipta langit.
Ketiga, jawaban dengan lisanul-Haq (bahasa al-Haq), yakni mereka yang Allah bersihkan dengan pembersihan sifat-sifatnya, dan Dia jernihkan dari sifat mereka. Merekalah yang pantas disebut kaum Sufi.
Saya pernah bertanya pada al-Hushri, “Siapakah sebenarnya seorang Sufi menurut pandangan Anda.” Ia menjawab, “Ia adalah seorang manusia yang tidak bertempat di atas bumi dan tidak dinaungi langit. Artinya, sekalipun mereka berada di atas bumi dan di bawah langit, akan tetapi Allah-lah yang menempatkannya di atas bumi dan Dia pulaYang menaunginya dengan langit. Bukan bumi atau langit itu sendiri.”
Dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. diriwayatkan bahwa ia pernah berkata, “Bumi mana yang akan sanggup memberi tempat pada saya dan langit mana yang sanggup menaungiku, jika saya mengatakan tentang apa yang ada dalam Kitab Allah menurut pendapatku semata.”
—(ooo)—
Syeikh Abu Nashr as-Sarraj
Sumber: Daris Rajih